Oleh
Ustadz Erwandi Tarmidzi MA
Gelatin merupakan protein yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang
secara alami terdapat pada tulang atau kulit binatang seperti ; ikan, sapi dan
babi.
Gelatin yang diperoleh dari babi merupakan gelatin yang paling luas dipakai
dalam industri pangan dan obat-obatan, mengingat gelatin yang didapat dari
hewan ini paling murah dibanding hewan lainnya.
Dalam industri pangan, gelatin dipakai sebagai salah satu bahan baku
pembuatan ; permen lunak, jeli, es krim, susu formula, roti, daging olahan,
minuman yang dicampur susu dan soup.
Dalam industri obat-obatan gelatin dipakai sebagai salah satu bahan baku
pembuatan vaksin, cangkang kapsul, pil, krim, pasta gigi, sabun dan obat gosok.
Sebagian Negara mewajibkan para produsen untuk mencantumkan kode komposisi
bahan baku dari barang olahan, kode gelatin yang berasal dari babi, antara lain
: 101, 101A, 120, 150, 153, 160A, 160B, 161A, 161C, 163, 200, 270, 304, 310-312,
326, 327, 334, 336, 337, 350, 353, 422, 430, 436, 162, 470, 478, 481, 483, 491,
495, 542, 572, 575, 631, 904A. [1]
Sebelum menjelaskan hukum gelatin dari babi, harus dijelaskan terlebih
dahulu hukum istihalah (perubahan suatu wujud menjadi wujud lain), seperti :
wujud babi berubah menjadi garam, apakah garam tersebut hukumnya halal atau
menjadi haram. Terdapat perbedaan pendapat para ulama mazhab dalam hal ini.
Para ulama mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa bila seekor babi
jatuh ke dalam tambak pembuatan garam lalu mati dan berubah menjadi garam, maka
garam tersebut hukumnya halal. Karena zat babi telah berubah menjadi garam dan
garam hukumnya adalah halal.[2]
Al-Hashkafi (ulama mazhab Hanafi, wafat 1088H) berkata : “Tidak termasuk
najis abu bekas pembakaran najis, juga garam yang berasal dari bangkai keledai
ataupun babi…, karena wujudnya telah berubah. Ini yang difatwakan dalam mazhab”
[3]
Para ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa garam yang berasal
dari perubahan wujud babi hukumnya tetap haram, karena zat babi adalah najis
sekalipun najis tersebut berubah bentuk menjadi zat lain hukumnya tetap najis.
Ar-Ramli (ulama mazhab Syafi’i, wafat : 1004H) berkata : “Zat yang najis
tidak berubah hukumnya secara mutlak …, dengan cara wujud najis berubah menjadi
wujud lain, seperti ; bangkai babi yang jatuh ke dalam tambak garam, kemudian
berubah menjadi garam” [4]
Ibnu Qudamah (ulama mazhab Hanbali, wafat : 620H) berkata : “Pendapat yang
terkuat dalam mazhab (Hanbali) bahwa najis tidak menjadi suci dengan cara
perubahan wujud kecuali khamar berubah menjadi cuka dengan sendirinya, adapun
selain itu tidak menjadi suci, seperti ; najis yang dibakar sehingga menjadi
abu, begitu juga bangkai babi yang jatuh ke dalam tambak garam sehingga berubah
wujud menjadi garam” [5]
Dari dua pendapat ulama tentang hukum garam yang berasal dari babi dapat
di-takhrij hukum gelatin yang berasal dari kulit dan tulang babi.
Para ulama yang bermazhab Syafi’i dan Hanbali tentu akan mengharamkan
gelatin yang diperoleh dari babi sekalipun zat gelatin tersebut berbeda bentuk
fisik dan sifat kimianya dengan kolagen babi yang merupakan asal dari gelatin.
Adapun para ulama yang bermazhab Hanafi dan Maliki, atau yang mendukung
pendapat bahwa perubahan wujud dari suatu zat menjadi zat lain hukumnya juga
akan berubah, namun mereka juga berbeda pendapat tentang kehalalan gelatin yang
diperoleh dari babi.
Pendapat Pertama.
Gelatin yang berasal dari babi hukumnya halal, pendapat ini merupakan hasil seminar Forum Fiqh dan Medis di Kuwait pada tanggal 25-5-1995, dan di dukung oleh DR.Nazih Hamad, DR.Muhammad Al-Harawy dan Basim Al-Qarafy. [6]
Gelatin yang berasal dari babi hukumnya halal, pendapat ini merupakan hasil seminar Forum Fiqh dan Medis di Kuwait pada tanggal 25-5-1995, dan di dukung oleh DR.Nazih Hamad, DR.Muhammad Al-Harawy dan Basim Al-Qarafy. [6]
Penganut pendapat ini beralasan bahwa gelatin adalah zat baru yang tidak
ada persamaan fisik dan sifat kimianya dengan kolagen yang berasal dari babi,
sekalipun gelatin berasal dari kolagen babi, dan dalam kaidah fiqh bahwa zat
baru hukumnya berbeda dengan hukum zat asalnya, bilamana hukum kolagen adalah
haram maka hukum gelatin adalah halal.
Bukti bahwa gelatin berbeda dengan kolagen adalah : Gelatin berwarna
bening, mudah larut di air dan mudah membeku, tidak demikian halnya dengan
kolagen. Kemudian, gelatin yang diperoleh dari babi sama sekali tidak dapat
dibedakan dengan gelatin dari hewan lainnya, berbeda dengan kolagen, yang
sangat mudah dibedakan antara kolagen babi dan lainnya. [7]
Tanggapan.
Argumen pendapat ini tidak kuat, karena ternyata gelatin yang berasal dari babi sangat mudah untuk diketahui melalui tes kimia sederhana, ini menunjukan bahwa proses perubahan wujud tidak terjadi dengan sempurna. [8]
Argumen pendapat ini tidak kuat, karena ternyata gelatin yang berasal dari babi sangat mudah untuk diketahui melalui tes kimia sederhana, ini menunjukan bahwa proses perubahan wujud tidak terjadi dengan sempurna. [8]
Pendapat Kedua.
Gelatin yang berasal dari babi hukumnya haram dan najis, pendapat ini merupakan keputusan berbagai Lembaga Fiqh internasional, diantaranya:
Gelatin yang berasal dari babi hukumnya haram dan najis, pendapat ini merupakan keputusan berbagai Lembaga Fiqh internasional, diantaranya:
1. Majma Al-Fiqh Al-Islami (OKI) keputusan no: 23 (11/3) tahun 1986 sebagai
jawaban atas pertanyaan dari Al-Ma’had Al-Alami Lil Fikri Islami di Washington
yang berbunyi :
Soal ke-XII : Di sini (Amerika) terdapat ragi dan gelatin yang diekstrak
dari babi dalam persentase yang sangat kecil, apakah boleh menggunakan ragi dan
gelatin terebut?
Jawab : Seorang muslim tidak dibenarkan menggunakan ragi dan gelatin yang
berasal dari babi, karena ragi dan gelatin (halal) yang diperoleh dari
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang disembelih sesuai syariat mencukupi kebutuhan
mereka” [9]
2. Keputusan Al-Majma Al-Fiqhiy Al-Islamy di bawah (Rabitah Alam Islami)
yang berpusat di Mekkah (no. 3, rapat tahunan ke 15) tahun 1998, yang berbunyi:
“Himpunan Fiqh Islami yang bernaung di bawah Rabitah Alam Islami dalam rapat tahunan ke-15 setelah mendiskusikan dan mengkaji bahwa : “gelatin adalah sebuah zat yang banyak digunakan untuk pembuatan makanan dan obat-obatan, berasal dari kulit dan tulang hewan ; Memutuskan :
“Himpunan Fiqh Islami yang bernaung di bawah Rabitah Alam Islami dalam rapat tahunan ke-15 setelah mendiskusikan dan mengkaji bahwa : “gelatin adalah sebuah zat yang banyak digunakan untuk pembuatan makanan dan obat-obatan, berasal dari kulit dan tulang hewan ; Memutuskan :
“Boleh menggunakan gelatin yang berasal dari sesuatu yang mubah, dari hewan
yang disembelih dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam. Dan tidak
dibolehkan menggunakan gelatin yang diperoleh dari sesuatu yang haram, seperti
; gelatin dari kulit dan tulang babi dan dari benda haram lainnya”.
Himpunan Fiqh Islami menghimbau Negara-Negara Islam untuk memproduksi
gelatin yang halal’. [10]
3. Fatwa Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi (no fatwa : 8039), yang
berbunyi : “Gelatin yang diperoleh dari sesuatu yang haram seperti babi,
hukumnya haram” [11].
Dan pendapat ini didukung oleh sebagian besar para ulama fiqh kontemporer
Para ulama ini beralasan bahwa gelatin bukanlah zat baru yang merupakan
perubahan wujud dari kolagen, akan tetapi gelatin telah ada pada kolagen babi
sebelum dipisahkan, ini menunjukkan bahwa proses yang terjadi hanyalah
pemisahan dan sekedar pergantian nama dan bukan perubahan wujud secara mutlak.
Dari dua pendapat di atas sikap seorang muslim hendaklah memilih yang lebih
baik untuk diri dan agamanya, yaitu menghindari segala produk yang menggunakan
gelatin babi sebagai salah satu bahan bakunya, karena bagaimanapun juga, asal
gelatin ini adalah babi dan babi telah diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an,
adapun proses perubahan wujud menjadi zat lain masih diragukan maka hukumnya
kembali kepada hukum asal babi yaitu haram, sesuai dengan kaidah hadits Nabi “
Tinggalkanlah yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan”.
Dengan demikian, menjual segala barang/produk yang salah satu bahan
dasarnya adalah gelatin babi hukumnya haram, dan hasil keuntungannya merupakan
harta haram, demikian juga diharamkan seorang dokter untuk memberikan resep
obat-obatan yang mengandung gelatin babi.
Sekalipun keberadaan gelatin hanya sebagai bahan campuran, hukumnya juga
tetap haram, berdasarkan sabda Nabi:
إِذَا وَقَعَتْ الْفَارَةُ فِي السَّمْنِ فَإِنْ كَانَ جَامِدًا فَأَلْقُوهَا
وَمَا حَوْ لَهَا وَإِنْ كَانَ مَا ئِعًا فَلا تَقْرَ بُوهُ
“Apabila seekor tikus (mati) jatuh ke minyak samin, jika minyak samin itu
beku maka buang bangkai tikus dan bagian minyak samin yang beku yang terkena
(najisnya), dan jika minyak samin itu cair maka jangan engkau dekati!” [HR Abu
Daud dan Nasa’i, derajat hadits ini Hasan]
Dari hadits di atas dipahami bahwa haram mendekati minyak cair yang
bercampur najis, dan menjual minyak yang najis berarti mendekatinya maka
hukumnya jelas haram.
Begitu juga haram hukumnya menjual makan olahan dan obat-obatan yang telah
bercampur najis (babi), karena tidak dapat dipisahkan lagi antara najis (babi)
dan bahan baku lainnya yang halal.
VAKSIN YANG MENGANDUNG GELATIN BABI
Sebagaimana telah diketahui bahwa gelatin babi hukumnya adalah najis, lalu bagaimanakah hukum melakukan vaksinasi untuk kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu, seperti vaksin meningitis yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan visa dan umrah?
Sebagaimana telah diketahui bahwa gelatin babi hukumnya adalah najis, lalu bagaimanakah hukum melakukan vaksinasi untuk kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu, seperti vaksin meningitis yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan visa dan umrah?
Laporan dari berbagai sumber memang dinyatakan bahwa vaksin meningitis
mengandung gelatin babi. Gelatin babi hukumnya najis serta haram hukumnya
dimasukkan ke dalam tubuh. Maka hukum melakukan vaksin ini adalah haram.
Namun hukum haram ini bisa berubah dalam kondisi tertentu, yaitu : bila
tidak terdapat alternatif lain pengganti vaksin yang mengandung gelatin babi
dan kuat dugaan orang yang tidak mendapat vaksin ini akan terserang penyakit
berbahaya yang berakibat kepada cacat permanen atau bahkan kematian. Maka dalam
kasus ini dapat digolongkan dalam kondisi darurat.
Allah berfirman.
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ
إِلَيْهِ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am :
119]
Ini berarti, Allah menghalalkan bagi hamba-Nya sesuatu yang dia haramkan
dalam kondisi darurat. l
Akan tetapi jika terdapat alternatif lain pengganti gelatin babi seperti
gelatin sapi maka seyogyanyalah pihak yang berwenang di sebuah Negara berpenduduk
mayoritas Islam untuk memberikan pelayanan yang paripurna terhadap rakyatnya.
[Ustadz Erwandi Tirmidzi MA, saat ini sedang menempuh Doktoral di Jami’ah
Al-Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh, universitas terkemuka di KSA. Disalin dari
Majalah Pengusaha Muslim Edisi 19 Volume 2/Agustus 2011]
_______
Footnote
[1]. Badriyah Al-Haritsy, An-Nawazil fil Athimah1, thesis di Univ.Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, halaman 504
[2]. Al-Mausuah Al-Kuwaytiyyah 10/278
[3]. Al-Durr Al-Mukhtar 1/217
[4]. Nihayatul Muhtaj 1/247
[5]. Al-Mughni 1/60
[6]. Nawazil fil Athimah 1/499, Basim Al-Qarafi, Nawazil Fithaharah, thesis di Univ. Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh 1/378
[7]. Ibid
[8]. Nawazil fil Athimah 1/500
[9]. Journal Fiqh Council, edisi III, vol 1409H, halaman 47
[10]. Qararat Al-Majma Al-Fiqhiy Al-Islami, hal.316
[11]. Journal Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi XX, vol. 1407H, hal 178
_______
Footnote
[1]. Badriyah Al-Haritsy, An-Nawazil fil Athimah1, thesis di Univ.Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, halaman 504
[2]. Al-Mausuah Al-Kuwaytiyyah 10/278
[3]. Al-Durr Al-Mukhtar 1/217
[4]. Nihayatul Muhtaj 1/247
[5]. Al-Mughni 1/60
[6]. Nawazil fil Athimah 1/499, Basim Al-Qarafi, Nawazil Fithaharah, thesis di Univ. Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh 1/378
[7]. Ibid
[8]. Nawazil fil Athimah 1/500
[9]. Journal Fiqh Council, edisi III, vol 1409H, halaman 47
[10]. Qararat Al-Majma Al-Fiqhiy Al-Islami, hal.316
[11]. Journal Al-Buhuts Al-Islamiyah, edisi XX, vol. 1407H, hal 178
No comments:
Post a Comment